Minggu, 11 Oktober 2015



Pendidikan pada masa kolonial Belanda merupakan barang yang mewah, karena hanya kelompok tertentu saja yang dapat menikmatinya, meskipun pendidikan tingkat rendah. Dan setelah melewati masa dua dekade setelah kemerdekaan, pendidikan selain masih dalam kategori mewah, pendidikan juga sebagai akses paling efektif untuk mencari jalur secara vertikal.
Dalam arti para petani, pedagang di desa mengharapkan anaknya jadi priyai bukan lagi jadi petani atau pedagang seperti orang tuanya, sehingga mereka dapat menyekolahkan anaknya sampai tingkat tinggi. Karena pada saat itu masih terbatas jumlah orang terdidik serta besarnya kebutuhan tenaga terdidik sehingga besar harapan orang tua terhadap anaknya jadi priyai mudah terpenuhi. Pada masa itu jumlah tenaga terdidik masih terbatas, sehingga pendidikan rendah pun bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, termasuk di instansi pemerintah, walaupun sebagai TU atau sekedar jadi kurir.


Tapi sejak Tahun 1990 an, seiring dengan makin banyaknya warga yang berpendidikan menengah dan tinggi, Pemerintah menerapkan kebijakan angka pertumbuhan nol untuk pegawai negeri dan ketatnya kompetensi pada sektor swasta, maka konsep pendidikan sebagai sarana menuju mobilitas vertikal semakin sulit terwujud, malah sebaliknya pendidikan merupakan suatu proses yang menyengsarakan masyarakat, karena begitu banyak masyarakat yang menginvestasikan harta bendanya untuk keperluan pendidikan, namun begitu lulus dari sekolah susah untuk mendapatkan pekerjaan seperti yang diharapkan. Bahkan orang yang berpendidikan itu malah kehilangan semangat hidup mereka ketika sebelum menginjakkan kakinya di dunia pendidikan, yaitu semangat menjadi petani, pedagang, nelayan, buruh tani dan lain-lain karena modal mereka habis untuk biaya pendidikan.

Anak-anak muda yang terpelajar yang seharusnya menjadi cerdas, terampil, dan mandiri malah menjadi linglung atau kebingungan tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah lulus dari tingkat sekolah tertentu atau malah semakin malas bekerja. Maka tidak heran banyak pelajar dan mahasiswa yang terlibat aksi kekerasan.

Program study tour secara konsep merupakan sesuatu yang baik untuk membuka wawasan dalam mengetahui tempat bersejarah secara langsung. Tapi disadari atau tidak, secara evolutif melahirkan generasi yang suka rekreasi tanpa harus membuat kreasi, generasi konsumtif tanpa harus produktif. Hal itu karena program study tour yang terjadi di Indonesia hanya menekankan tour nya bukan study nya. Berbeda dengan negara maju, mereka dilatih untuk bekerja keras dulu, baru setelah itu mampu memproduksi dan berkreasi dan hasilnya untuk rekreasi. Maka tidak heran orang orang dari negara maju menjadi wisatawan dari hasil kerja ( Kreasi dan produksi ) kerasnya, sedangkan pelajar di Indonesia dilatih untuk konsumtif dan rekreatif sebelum produktif. Maka tidak mengherankan lembaga pendidkan di Indonesia melahirkan preman jalanan, pengamen rendahan, anak jalanan, pembegal murahan hingga pembegal cerdas kelas kakap yang bermental birokrat, bahkan menjadi pemabuk murahan sampai pemabuk elit. Atau melahirkan generasi yang kebingungan harus kemana dan apa yang harus dilakukan setelah lulus dari lembaga pendidikan, sementara mental rekreatif dan konsumtif masih melekat dalam jiwanya.

Menurut Ortega Y. Gasset, yang dikutif oleh E.F Schumacher 1979, yang ditulis Darmaningtyas dalam buku Pendidkan Yang Menyengsarakan, bahwa pendidikan  adalah penyebaran ide yang memungkinkan orang untuk memilih yang ini dan yang itu, atau untuk hidup sedikit lebih baik. Tapi kenyataanya sesorang yang mencapai tingkat pendidikan tertentu malah makin terkurung pada satu pilihan saja seningga hidupnya makin sengsara.

0 komentar:

Posting Komentar